Satu hal yang membuatku membenci ibu yang telah melahirkanku hingga saat ini, ketika suatu malam aku dimarahi dan dipukuli karena tidak bisa mengerjakan PR. Aku sungguh tidak tahu apa yang dimaksud dalam buku tersebut dan memang di sekolahpun aku belum diajarkan. Aku mengalami trauma hingga beberapa tulangku retak dan aku tak lagi sanggup bertahan. Tubuhku biru dan memar oleh gagang sapu. Jeritan kesakitanku membuat ibuku membabi buta.
Tiga hari aku tak sadarkan diri, dan ketika sadar, aku sedang terbaring di rumah sakit dengan selang infus di tangan dan hidung. Ibuku duduk dan tertidur disamping lenganku. Wajahnya tampak kubil, seperti habis menangis berhari-hari. Aku mencari ayahku. Ia tidak ada. Ketika ibuku tersadar, aku pertama kali menanyakan padanya, “Papa, mana?”, ibuku menjawab dengan airmata yang terus berderai. “Papa sedang pergi, sayang”. Antara percaya dan tidak, tapi aku berpikir mungkin ayahku sedang ada pekerjaan. Pasti nanti malam atau besok pagi aku bisa menyapanya. “I miss you, Pa.”
Setahun aku kehilangan ayahku, ibuku dan keluarga lainnya tidak pernah ada yang bisa menjawab kemana ayahku pergi sebenarnya ketika aku bertanya. Hingga aku mulai mengira-ngira, “Papa ada dimana ya, sekarang?”, “Kenapa Papa meninggalkan, kami?”, “Atau sedang merantau?”, “Aku rindu sama Papa”. Setiap hari aku selalu menunggu di depan pintu rumah sebelum dan sesudah pulang sekolah, bahkan malam sebelum tidur akupun selalu turun kebawah melihat keluar, berharap ayahku pulang dan sedang menunggu dibukakan pintu dengan membawa oleh-oleh martabak dan makanan kesukaanku seperti biasa. Aku selalu senang menyambutnya pulang kerja walau tanpa buah tangan sekalipun. Dia adalah pahlawanku. Temanku. Sahabatku. Segalanya..
Lima tahun berlalu. Aku berhasil lulus dan masuk SMP. Ayah tidak juga pulang atau sekalipun menyurati kami. Bahkan tanpa berita sama sekali. Aku ingin sekali membagi kebahagianku bersamanya saat itu. Bisa masuk SMP dengan nilai terbaik. Antara benci dan rindu padanya saat aku membayangkan ketika kami bertiga berlibur ke suatu tempat yang bagi orang lain tempat itu biasa saja, namun bagiku adalah saat-saat yang indah dan tak terlupakan.
Tepat di tahun ke tujuh, atau 13 tahun berlalu tanpa ayah, aku berpendapat bahwa ia telah pergi untuk selamanya, atau yang paling ekstrim, ayahku pergi dengan wanita lain dan hidup bahagia dan melupakan kami. Ah, tidak mungkin! Ayahku bukan tipe seperti itu. Aku tidak percaya! Tidak! Ayahku baik!
Hari itu adalah hari kebahagianku, dimana aku lulus menjadi sarjana, tukang insinyur kata bang Doel, sama seperti ayahku yang juga sarjana engineering, “i-er”. Dan bukan hanya itu saja, aku juga sudah teken kontrak kerja menjadi karyawan tetap sebuah perusahaan pesawat terbang yang cukup terkenal di dunia – seiring cita-citaku sejak kecil ingin menjadi pilot komersial tapi tidak jadi – karena sejak semester IV aku terpilih dari ribuan mahasiswa menjadi pekerja magang diperusahaan perwakilan tersebut.
Kebahagiaanku tidak berhenti sampai disitu saja, ketika selesai foto didepan convention hall, seseorang yang tidak asing bagiku, walaupun belasan tahun tidak bertemu muncul diantara kerumunan para sarjana baru yang tampak riang berfoto dan bercengkerama bersama keluarga dan kerabat di siang yang mendung menyelimuti Jakarta. Aku terpana. Hanya bisa menelan ludah. Lidahku kaku. Tak mampu berbicara. Mulutku terkunci. Tubuhku merinding berkali-kali. Shacking. Suasana ceria berubah menjadi dramatis, ibuku yang anggun dengan kebayanya menunduk pelan dan mulai berderai air mata. Tanteku – adik kandung ibuku – bersama suami dan putrinya juga terpana melihat kami begitu tegang dan gugup. Sarah tak kalah. Sosok yang kukenal itu menghampiriku tenang, tertatih dengan senyum kecil dan tongkat di tangan kirinya. Aku berlari memeluknya. “Papa, darimana saja? Kenapa papa meninggalkan kami? Kenapa?” aku tak sanggup menahan getar haru di dadaku, dan air mataku mulai berkumpul di pelupuk mata. Kulihat sekelilingku. Ibuku sedang berpelukan dengan tanteku, menangis dipundaknya. Dan eyangku terduduk lemas diatas sebuah kursi. Menyaksikan adegan reality itu. “Terima kasih. Siapapun engkau atau Tuhan. Keinginanku terkabul. Terima kasih, siapapun engkau” gumanku. “Aku bukan papamu, nak. Aku saudara kembar papamu.” Laki2 itu berbisik. Suaranya tertahan. “Saudara kembar?” tanyaku sambil melepas pelukannya, memandangi bola matanya dan melihat ibuku, meminta kejelasan.
Akhirnya kami pulang ke rumah bersama eyang, saudara kembar ayah – katanya, istri saudara kembar ayah – katanya juga, dan Sarah. Sementara Tante dan Oom serta kemenakanku mengendarai mobilnya menuju rumah kami.
Dave, nama saudara kembar ayah. “Papamu sudah meninggal 13 tahun yang lalu, nak. Mamamu tidak menceritakannya. Di hari kamu siuman saat di rumah sakit” suaranya membuka suasana hening di ruang tamu rumah kami yang minimalis. Peninggalan ayahku. Ibuku masih terisak di pelukan tante dan eyangku. “Bagaimana bisa terjadi? Kecelakaan?” tanyaku mendesak. “Vidia, aku minta maaf, karena dia sudah dewasa dan harus tahu. Bolehkah?” Oom Dave meminta persetujuan ibuku, Vidia. Ia hanya mengangguk pelan. “Saat itu kamu pingsan dan dibawa ke rumah sakit.
Komplek pamakaman yang teduh. Sehari sebelum pernikahan sederhana kami. Sunyi dan tenang. Sebuah nisan marmer salib sederhana terukir, “Disini terbaring dengan tenang, Papaku tersayang dan suamiku tercinta, tiada pernah ada orang lain yang bisa menggantikanmu. Maafkan Mama, Pa...” aku tak mampu membendung air mata yang sudah menggenang. “Lahir 13 Maret 1963 – Meninggal 13 Maret 1995”.
Disamping makamnya yang sederhana dan rapih, aku bersujud meminta restunya bersama Sarah. Ibuku duduk di samping makam ayahku ditemani Oom Dave dan istrinya, tanteku dan suaminya, memeluk nisan. Aku menahan haru. Sarah bangkit dan memeluk ibuku yang terisak. “Mama, aku sayang padamu..” dan langit pun turut berduka, hujan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukkan tanggapan kamu tentang artikel ini