Mary dan George bersiap untuk menikah, tetapi Perang Dunia II muncul dan George tiba-tiba dipanggil untuk ikut berperang. Menyadari bahwa ini dapat berarti kematian bagi George, ia memutuskan bahwa mereka akan menunda pernikahan sampai ia kembali dengan selamat. Maka George meminta, ”Mary, tolong tunggu saya. Setelah perang selesai, saya akan datang kembali dan kita akan menikah”. Mary setuju.
Minggu-minggu dan bulan-bulan berlalu dengan surat George yang datang dan tetap membuat hati Mary berseri-seri. Tetapi tiba-titba surat berhenti datang. Satu minggu, dua minggu, tiga minggu, empat minggu, berminggu-minggu berlalu dan tidak ada surat lagi. Akhirnya, keluarga menerima komunikasi dari tentara bahwa George hilang dalam peperangan dan dipercaya sudah meninggal.
Hati Mary hancur. Ia tidak percaya bahwa George telah pergi. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sekuat apapun ia mancoba untuk meninggalkan rasa kehilangan, ia tidak dapat melupakan George dalam pikiran dan hatinya. Setelah beberapa bulan, ia pulang dari pekerjaan suatu malam dan berkata pada ibunya, ”Ibu, saya sungguh sedang tidak bergairah. Saya ingin pergi ke kamar sendirian. Tolong jangan biarkan ada yang mengganggu saya.” Ia menutup pintu dan mengambil semua surat George dari laci. Berbaring di ranjang ia mulai membaca surat-surat itu lagi, satu demi satu, dan ia mulai menangis. Ia mengambil foto George dari laci, begitu tampan dalam seragam, dan memegangnya sementara terus membaca surat dan menangis.
Untuk pertama kali sejak berita kehilangannya, ia mengambil gaun pengantin yang sudah dibeli sebelum George pergi. Ia memakainya dan berdiri di depan cermin melihat dirinya begitu sempurna dalam gaunnya, memegang foto George dan surat, dan hatinya menangis tersedu-sedu.
Di lantai bawah, terdengar ketukan di pintu dan ibunya membukakan pintu. Ia membuka pintu dan jantungnya terkesiap. ”George!” ia terperangah. ”Apa yang kamu lakukan di sini?”
George berkata, ”Ibu, apakah Mary ada di rumah?”
”Ya, tetapi, George, kamu... kamu... bukannya kamu sudah meninggal!”
”Saya, ah... tidak... saya baik-baik aja. Beritahu saya, apakah Mary sudah menikah?”
”Belum, tetapi George, apa yang telah terjadi? Kami... kami... mendengar... ”
George memotong dengan lembut dan berkata, ”Ibu, jika Mary belum menikah, bolehkah saya melihatnya?” Ketika sang ibu melangkah ke samping dan hendak menuju kamar Mary, George mendahului menaiki tangga. Di Inggris, beberapa lubang kunci begitu besar hingga Anda hampir dapat berjalan melaluinya, dan sewaktu George melihat melalui lubang kunci, ia terkejut dengan apa yang dia lihat. Di sana Mary berdiri, sama cantiknya dengan yang ia dapat ingat, memakai gaun pengantin, fotonya di tangan, dan surat di tangan yang lain. Ia membuka pintu dan berkata dengan lembut. ”Mary!” Mary berbalik melihat dia, terkejut dan kemudian berteriak, ”Georgie!” Mary memeluknya... dan saya tidak dapat meneruskan cerita kecuali memberitahu Anda bahwa George melepaskan satu lengannya dengan sulit, merogoh ke dalam kantong, mengeluarkan kertas yang terlipat. ”Mary, ” ia berkata, ”dari semua surat yang kamu tuliskan, surat ini yang paling berharga. Saya selalu membawanya melalui segala sesuatu. Bunyi surat ini, ”Georgi sayang, saya mencintaimu. Saya mencintaimu. Saya mencintaimu. Dan seaktu kamu pulang, saya akan siap”. Sayang, saya tidak tahu kamu sesiap ini! ”
- Zacharia, Ravi. ”I, Isaac, take Thee Rebekah” -
Sudahkah kita siap, ketika Tuhan Yesus datang kembali kedua-kalinya? Lebih dari Mary menanti George, sepatutnya kita siap ketika Ia datang.
-yang masih belajar untuk melakukan tidak hanya mengetahui-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Masukkan tanggapan kamu tentang artikel ini